Meruntut sejarah Sunda dan Jawa, huruf "F" pertama kali dibawa dan diperkenalkan oleh pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad ke-13. Bangsa Arab memiliki lafal "F" dari huruf asli "Fa' yang banyak digunakan dalam kosa kata mereka yang tersebar baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang keagamaan.
Memang Islam lebih dulu memasuki suku Jawa dibanding suku Sunda. Tingkat penyebaran awal juga lebih luas dengan berdirinya kerajaan Demak yang disokong oleh Wali Sanga-nya.
Berdasarkan sumber sejarah tertulis, Carita Parahyangan, Islam dibawa keTatar Sunda oleh Bratalegawa, atau Haji Purwa, seorang saudagar dan pelayar besar yang juga merupakan anak Sang Bunisora -penguasa kerajaan Galuh. Ia menikah dengan seorang muslimah Gujarat, kemudian masuk Islam dan kembali ke Galuh pada tahun 1337 Masehi serta menyebarkan Islam di Cirebon (Caruban) Girang. Namun proses islamisasi Tatar Sunda secara massal baru pada abad ke -16, dengan adanya peran Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati di Cirebon. Dengan kedudukannya sebagai salah satu Wali Sanga, beliau mendapat dukungan dari Kerajaan Demak secara penuh. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke Tatar Sunda lainnya, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh (Kawali-Ciamis), Sunda Kelapa dan Banten.
Untuk kasus di Jawa, modus penyebaran islam yang bergerak dari pesisir ke pedalaman membuat kita mudah memahami mengapa di daerah pedalaman, masih terdapat masyarakat, khususnya generasi sepuh, yang kesulitan melafalkan "F", misalnya ketika mengucapkan kata "film" (bahasa inggris) menjadi "pilem". Tapi secara general, hampir seluruh suku Jawa tidak kesulitan dalam melafalkan huruf "F".
Sedangkan di Tatar Sunda, kesulitan pelafalan "F" hampir menyeluruh dari pesisir pantai utara sampai pesisir pantai selatan, dari generasi tua sampai generasi sekarang. Kenapa? Saya mencoba menganalisisnya dan membuat teori untuk menjawabnya.
Huruf "F" lebih banyak tersebar ke masyarakat Jawa dan Sunda melalui bidang dakwah. Sebab bidang perdagangan hanya menyentuh beberapa gelintir masyarakat di daerah pesisir. Bedanya adalah mekanisme internalisasi Islam berikut budaya lisan dan tulisan yang melekat padanya.
Huruf "F" lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa akibat internalisasi Islam beserta budaya ikutannya (termasuk huruf "F") yang dilakukan melalui metode yang mudah diterima dan dipraktikan. Beberapa anggota Wali Sanga di Jawa banyak menggunakan media seni dan budaya. Yang paling fenomenal adalah peran Sunan Kalijaga dalam mengembangkan wayang purwa atau wayang kullit yang bercorak islam. Beberapa sunan lainnya juga dikenal sebagai ahli gubah tembang Jawa. Sunan Bonang (R. MakhdumIbrahim) yang dianggap sebagai pencipta gending bermuatan islam. Sunan Drajat (R. Syarifudin) yang terkenal sebagai penggubah tembang Pangkur.Sunan Kudus (Ja'far Shadiq) yang terkenal dengan gubahan gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Muria (R. Umar Said) yang menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.
Melalui media seni dan budaya inilah, Islam dan budaya ikutannya menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu, masyarakat agraris dengan komunikasi "getok tular". Dengan media seni, akulturasi kebudayaan, termasuk penggunaan dan pelafalan huruf "F" menjadi lebih mudah. Sebab ia tidak hanya digunakan saja dalam ranah ritual di masjid-masjid saja, tetapi budaya ikutannya telah memasuki ranah setiap sendi kehidupan masyarakat, melalui tembang-tembang yang dinyanyikan, melalui pertunjukan-pertunjukan seni yang mereka nikmati.
Sunan Gunung Jati juga memiliki keunikan pendekatan dakwah melalui bidang pengobatan. Naskah-naskah kuno Cirebon hampir seluruhnya memberikan informasi tentang peran Sunan Gunung jati sebagai seorang tabib.
Pendekatan dakwah "to the point" membuat sedikit batas akulturasi kebudayaan Islam dengan budaya asli Sunda, khususnya penyerapan huruf "F" dalam budaya lisan Sunda. Huruf "F" hanya hidup di ranah agama, di lingkungan masjid. Akan tetapi huruf "F" tidak hidup dalam bidang kehidupan sehari-hari lainnya.
Analisis masalah kesulitan pelafalan huruf "F" oleh suku Sunda di atas baru dilihat dari sisi kemungkinan mekanisme akulturasi kebudayaan yang dominan. Sangat mungkin bahwa penyebab utamanya bukan karena itu. Misalnya pengaruh anatomi mulut masyarakat sunda dahulu. Atau pengaruh prestise trend pelafalan para elit Tatar Sunda waktu itu, seperti tren pengucapan "kan" menjadi "ken" pada masa orde baru. Semoga ahli bahasa Sunda, sejarah dan anthropolog ada yang berminat meneliti masalah ini.
Terima Kasih !
No comments:
Post a Comment